MERIAM PUITRI HIJAU
Abad 15 dan 16 adalah periode paling berdarah di zona dataran rendah Aceh, Sumatera Timur, dan semenanjung Malaysia. Empat kerajaan saling bantai, berkonspirasi, dan saling menaklukkan untuk memperebutkan kekuasaan pada zona perdagangan internasional yang kini dikenal dengan Selat Malaka. Di tengah kecamuk perebutan kue ekonomi itu, pada tepian sungai Deli–tepatnya sekitar 9 km dari Labuhan Deli–lahirlah sebuah legenda klasik bernama Puteri Hijau.
Legenda Sang Puteri yang selalu digambarkan dengan segala kosakata kecantikan, bertahan hingga kini dalam dua versi. Versi pertama berasal dari catatan sejarah yang mirip cerita lisan yang berkembang di masyarakat Melayu Deli. Versi kedua adalah hikayat dari masyarakat Karo. Keduanya bertentangan dan kelihatan sekali saling berlomba menonjolkan identitas dan ego suku masing-masing.
Dari versi lisan Melayu, konon pernah lahir seorang puteri yang sangat cantik jelita di desa Siberaya, dekat hulu sungai Petani (sungai Deli). Kecantikannya memancarkan warna kehijauan yang berkilau dan menjadi kesohor ke berbagai pelosok negeri, mulai dari Aceh, Malaka, hingga bagian utara pulau Jawa. Ia kemudian dinamai Puteri Hijau. Dalam hikayatnya, Sang Puteri memiliki dua saudara kembar yang dipercaya adalah seekor naga bernama Ular Simangombus dan sebuah meriam bernama Meriam Puntung.
Alkisah, Ular Simangombus memiliki selera makan yang luar biasa. Ia digambarkan seakan tidak pernah kenyang. Rakyat Siberaya akhirnya tidak sanggup lagi menyediakan makanan untuk naga ini, sehingga Sang Puteri bersama kedua saudaranya memutuskan pindah ke hilir sungai dan menetap di sebuah perkampungan baru yang sekarang dikenal dengan nama Deli Tua. Di sini, para pengikutnya membangun benteng yang kuat. Dengan demikian, negeri itu cepat makmur.
Kecantikan Sang Puteri yang menyebar seperti kabar burung ke segala penjuru, suatu ketika mendarat di telinga Raja Aceh. Ia lantas kepincut dan mengirim bala tentara untuk meminang Puteri Hijau. Utusan langsung dikirim. Pantun bersahut-sahutan. Tapi pinangan ini ditolak dan membuat Raja Aceh betul-betul dilanda murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri Hijau. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya.
Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang. Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.
Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Tapi karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua. Bagian moncongnya tercampak ke Desa Sukanalu Simbelang, Kecamatan Barusjahe. Sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana Maimoon Medan.
Melihat situasi yang tak menguntungkan, Ular Simangombus, saudara Sang Puteri lainnya, menaikkan Puteri Hijau ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan (Jalan Puteri Hijau), memasuki sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka. Dan hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala.
Namun sebuah anak legenda menyebutkan bahwa Puteri Hijau sebenarnya sempat tertangkap. Ia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, ia diberikan berkarung-karung beras dan beribu-ribu telur.
Tetapi baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat, disusul gelombang yang tinggi dan ganas. Dari perut laut muncul jelmaan saudaranya, Ular Simangombus, yang dengan rahangnya mengambil peti tempat adiknya dikurung. Lalu Puteri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan pulau Berhala. Menurut cerita ini, saudara-saudara Puteri Hijau adalah manusia-manusia sakti yang masing-masing bisa menjelma menjadi meriam dan naga. Memang, cerita lisan selalu mewariskan banyak versi sesuai selera masing-masing penceritanya.
Kabarnya, setelah di bawa pergi oleh Saudaranya, Ulat Simangombus. Sang raja Aceh membawa sebagian hartanya dan orang orang kepercayaannya. Namun, saat sang Raja pulang. Sang Raja Aceh tidak membawa harta dan para prajurit pilihannya.
No comments:
Post a Comment